<script async custom-element="amp-auto-ads"
src="https://cdn.ampproject.org/v0/amp-auto-ads-0.1.js">
</script>
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
HADIST MAQTHU’
Dari segi bahasa, berarti hadits yang terputus. Para ulama memberi
batasan:
ما جاء عن تابعيّ من
قوله او فعله موقوفاعليه سواءاتّصل سنده أملا
“Ialah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in
serta dimauqufkan padanya, baik sandanya bersambung maupun tidak.”
Contohnya ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’in besar,
ujarnya:
المؤمن اذا عرف ربّه عزّوجلّ أحبّه واذا
أحبّه أقبل إليه
“Orang mukmin itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya
ia mencintainya dan bila ia mencintainya Allah menerimanya.”
Contoh lain seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in,
yang mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة
ركعة وبعد الأضحى ستّ ركعات
“Termasuk
sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6
rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk
munqathi. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya
mempunyai perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan dengan munqathiitu dalam
lapangan pembahasan sanad, yakni sanarnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits
dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak
dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para
muhadditsin mengatakan: “Ini hadits maqthu”, maka maksudnya: Hadits (khabar)
yang disandarkan kepada tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan, baik
muttashil maupun munqathi.”Hadist maqthu’ menurut ibnu Katsir ialah hadist
mauquf terhadap thabi’in berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut
ulama,hadist maqthu’ dan hadist munqathi’ dinilai sama adapun ulama tersebut
ialah Imam Syafi’i dan Thabrani.
Alasan Ibnu
Katsir mengatakan hadist maqthu’ terkadang menjadi hadist mauquf,dan marfu
mursal ditemukan dalam kitabnya Ikhtisar fi Ulum al-hadist (intisari dalam
ilmu-ilmu hadist).
1)
Hadist
maqthu’ menjadi hadist mauquf dengan keriteria berikut apabila ada shigah yang
mengatakan “KUNNA NAF’ALU” dan “NAQUULU KADZA” kemudian tidak disandarkan pada
pada zaman nabi. Abu Bakar al-Barqaniy
dan gurunya Abu Bakar Isma’iliy mengatakan bahwasanya shighah diatas adalah
shigah hadist maqthu yang menjadi hadist mauquf.
2)
Hadist
maqthu’ dapat menjadi hadist marfu’ manakala dari seorang tabi’iy
diriwiyatkannya : “Kami diperintahkan begini”, “Kami dilarang begini”, atau
“Termasuk sunnah adalah begini”,maka sebagian ulama mengatakan : Hal itu
dihukumi mursal. Sementara yang lain mengatakan, hal itu mengandung dua
kemungkinan,adakalanya mauquf dan adakalanya mursal marfu’[5] dikatakan mursal
marfu’ karena menurut mereka ada kesepakatan “taqrir” dari nabi.
Sebagian ulama menambahkan shighah
lain selain shighah diatas “Kunna Laa Naroo Ba’tsan Fii Kadza”, “Kaanuu
Yaf’aluuna Aw Yaquuluuna Bi Kadza” atau “Kunna Naf’alu Kadza Fii Ahdi
Rasulillah Saw”.
B.
MACAM-MACAM
HADIS MAQTHU'
1.
Hadis
maqthu’ qauli
Contoh Hadis Maqthu'
قول الحسن البصري في الصلاة
خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli
bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan
bid'ahnya"
2.
Hadis
maqthu’ fi’li
Contohnya
adalah perkataan Haram bin Jubair yang merupakan salah seorang senior
dikalangan tabi'iy:
الْمُؤْمِنُ
اِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ اَحَبَّهُ, وَاِذَا اَحَبَّهُ اُقْبِل
اِلَيْهِ.
"Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia
mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya.[21]
3.
Hadis
maqthu’ taqriri (yang berupa persetujuan)
Contoh : seperti perkataan Hakam bin ‘Utaibah, ia berkata: “Adalah
seorang hamba mengimami kami dalam masjid itu, sedang syuraih (juga) shalat
disitu.”
Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa
Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
C.
KEHUJJAHAN
HADITS MAQTHU’
Dalam hal ini,
para ulama’ berpendapat bahwa hadits maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah. Akan
tetapi, apabila pendapat thabi’in itu telah berkembang dalam masyarakat, sedang
pendapat tersebut tidak dibantah oleh siapapun, maka diantara ulama’ ada yang
memandangnya sebagai suatu ijma’ sukuti.
Hal ini sama
dengan pendapat sahabat yang telah berkembang dalam masyarakat yang tidak
dibantah oleh siapapun. Karena yang demikian ini juga disebut dengan ijma’
sukuti dikalangan sahabat.
Pendapat lain
mengatakan: Hadits maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara’
sekalipun shahih, karena ia bukan yang datang dari Nabi. Dia hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah
seorang umat islam. Tetapi jika ada disana bukti-bukti kuat yang menunjukkan
kemarfu’annya, maka dihukumi marfu’ mursal.
<amp-auto-ads type="adsense"
data-ad-client="ca-pub-4141162708570737">
</amp-auto-ads>
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadist maqthu’ ialah hadist yang berkenaan dengan matan,dimana
dalam matan tersebut tidak disandarkan kepada Rasulullah atau para sahabat. Ia
(hadist maqthu’) berbeda dengan hadist munqathi’ karena hadist munqathi’ tidak berkenaan
dengan matan akan tetapi berkenaan dengan sanad yang terputus.
Hadist maqthu’ dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu hadist maqthu’
qauliy, hadist maqthu’ fi’liy dan Hadis maqthu’ taqriri
Perbedaan ulama tentang istilah maqthu’ dan munqati’ terjadi karena
belum ditetapkannya istilah hadist maqthu.
Kedudukan
hadist maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah karena ia merupakan perkataan orang
biasa meskipun terdapat kebenaran di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar