Jumat, 30 Juni 2017

Hadis Maqthu

<script async custom-element="amp-auto-ads"
        src="https://cdn.ampproject.org/v0/amp-auto-ads-0.1.js">
</script>

BAB II
PEMBAHASAN


A.    DEFINISI HADIST MAQTHU’

Dari segi bahasa, berarti hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan:
ما جاء عن تابعيّ من قوله او فعله موقوفاعليه سواءاتّصل سنده أملا
Ialah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta dimauqufkan padanya, baik sandanya bersambung maupun tidak.”
Contohnya ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’in besar, ujarnya:
المؤمن اذا عرف ربّه عزّوجلّ أحبّه واذا أحبّه أقبل إليه
Orang mukmin itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya ia mencintainya dan bila ia mencintainya Allah menerimanya.”
Contoh lain seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة وبعد الأضحى ستّ ركعات
Termasuk sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6 rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan dengan munqathiitu dalam lapangan pembahasan sanad, yakni sanarnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para muhadditsin mengatakan: “Ini hadits maqthu”, maka maksudnya: Hadits (khabar) yang disandarkan kepada tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan, baik muttashil maupun munqathi.”Hadist maqthu’ menurut ibnu Katsir ialah hadist mauquf terhadap thabi’in berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut ulama,hadist maqthu’ dan hadist munqathi’ dinilai sama adapun ulama tersebut ialah Imam Syafi’i dan Thabrani.
Alasan Ibnu Katsir mengatakan hadist maqthu’ terkadang menjadi hadist mauquf,dan marfu mursal ditemukan dalam kitabnya Ikhtisar fi Ulum al-hadist (intisari dalam ilmu-ilmu hadist).

1)      Hadist maqthu’ menjadi hadist mauquf dengan keriteria berikut apabila ada shigah yang mengatakan “KUNNA NAF’ALU” dan “NAQUULU KADZA” kemudian tidak disandarkan pada pada zaman nabi.  Abu Bakar al-Barqaniy dan gurunya Abu Bakar Isma’iliy mengatakan bahwasanya shighah diatas adalah shigah hadist maqthu yang menjadi hadist mauquf.
2)      Hadist maqthu’ dapat menjadi hadist marfu’ manakala dari seorang tabi’iy diriwiyatkannya : “Kami diperintahkan begini”, “Kami dilarang begini”, atau “Termasuk sunnah adalah begini”,maka sebagian ulama mengatakan : Hal itu dihukumi mursal. Sementara yang lain mengatakan, hal itu mengandung dua kemungkinan,adakalanya mauquf dan adakalanya mursal marfu’[5] dikatakan mursal marfu’ karena menurut mereka ada kesepakatan “taqrir” dari nabi.
Sebagian ulama menambahkan shighah lain selain shighah diatas “Kunna Laa Naroo Ba’tsan Fii Kadza”, “Kaanuu Yaf’aluuna Aw Yaquuluuna Bi Kadza” atau “Kunna Naf’alu Kadza Fii Ahdi Rasulillah Saw”.


B.     MACAM-MACAM HADIS MAQTHU'

1.      Hadis maqthu’ qauli
Contoh Hadis Maqthu'
قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya"

2.      Hadis maqthu’ fi’li
Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
 الْمُؤْمِنُ اِذَا عَرَفَ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ اَحَبَّهُ, وَاِذَا اَحَبَّهُ اُقْبِل اِلَيْهِ.
"Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya.[21]

3.      Hadis maqthu’ taqriri (yang berupa persetujuan)
Contoh : seperti perkataan Hakam bin ‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam masjid itu, sedang syuraih (juga) shalat disitu.”
Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.


C.     KEHUJJAHAN HADITS MAQTHU’

Dalam hal ini, para ulama’ berpendapat bahwa hadits maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi, apabila pendapat thabi’in itu telah berkembang dalam masyarakat, sedang pendapat tersebut tidak dibantah oleh siapapun, maka diantara ulama’ ada yang memandangnya sebagai suatu ijma’ sukuti.
Hal ini sama dengan pendapat sahabat yang telah berkembang dalam masyarakat yang tidak dibantah oleh siapapun. Karena yang demikian ini juga disebut dengan ijma’ sukuti dikalangan sahabat.

Pendapat lain mengatakan: Hadits maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara’ sekalipun shahih, karena ia bukan yang datang dari Nabi. Dia hanya  perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat islam. Tetapi jika ada disana bukti-bukti kuat yang menunjukkan kemarfu’annya, maka dihukumi marfu’ mursal.

<amp-auto-ads type="adsense"
        data-ad-client="ca-pub-4141162708570737">
</amp-auto-ads>

BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan

Hadist maqthu’ ialah hadist yang berkenaan dengan matan,dimana dalam matan tersebut tidak disandarkan kepada Rasulullah atau para sahabat. Ia (hadist maqthu’) berbeda dengan hadist munqathi’ karena hadist munqathi’ tidak berkenaan dengan matan akan tetapi berkenaan dengan sanad yang terputus.
Hadist maqthu’ dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu hadist maqthu’ qauliy, hadist maqthu’ fi’liy dan Hadis maqthu’ taqriri
Perbedaan ulama tentang istilah maqthu’ dan munqati’ terjadi karena belum ditetapkannya istilah hadist maqthu.
Kedudukan hadist maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah karena ia merupakan perkataan orang biasa meskipun terdapat kebenaran di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar